Imperial Kolonialis
Mungkin
memang aku yang terlalu egois. Aku selalu memegang doktrin “ikan tidak bisa
memanjat, monyet tidak bisa terbang, burung tidak bisa berenang”. Diam, dan
jangan kaitkan dengan undan atau penguin. Nyatanya, aku menghancurkan pondasiku
sendiri.
Atas
dasar ambisi untuk menghidupkan literasi dunia digital, mata dan hatiku buta.
Aku, yang dengan kerasnya menghina kolonialisme, tanpa sadar malah menjadi
kompeni itu sendiri. Benar, semut di seberang pulau memang nampak. Kupikir aku
terlalu memaksa, mungkin lebih kejam dari Daendles. Ada Anyer-Panarukan baru
yang kuciptakan, buktinya ada di dunia digital. Aku memeras keringat mereka–dan
kalian, para korban yang mungkin membaca ini–untuk membuat jalan.
Apa
kalian lebih baik, para korbanku?
Tapi,
aku tidak berhenti. Saat itu, mungkin aku terlalu membawa hati. Tuhan sengaja
menggagalkanku untuk bisa berdiri lebih baik saat ini. Tantanganmu, Watermark
(nama teman sekaligus rivalku), tak dapat kusanggupi. Seratus kurang dua puluh,
di penghujung bulan dua-belas dua tahun lalu. Thanks. Karena kini kau
justru menjadi ketua kolonialisme yang anyar hahaha!
Kau,
Watermark, pendukung sekaligus
penantangku, kini kita membangun rumah baru untuk menampung korban-korban yang
datang dengan sukarela. Sedikit lebih humanis, tapi tetap saja eksploitatis.
Pembangunan jalan di dunia digital memang tidak boleh berhenti, kalau bisa di
dunia nyata juga. Meski hasilnya tidak semulus jalan tol, tapi usaha yang kita kerahkan
lebih tinggi dari Patung Pancoran.
Sekarang
tergantung, tinggal kita sendiri mau memantaskan atau puas dengan
ketidakpantasan itu aja.
Klasik,
tapi Asik.
Komentar
Posting Komentar