Bukan Mahabarata
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata maha berarti sangat; amat; teramat; besar.
Pada konteks celoteh saya kali ini, maka kita tidak akan membahas Maha Kuasa,
Maha Esa, atau Maha Pencipta. Hal tersebut terlalu kompleks dan otak saya belum
mampu mencernanya. Maha yang menjadi tiang penunjang negara tercinta ini ialah
Mahasiswa.
Maha,
cukup seram ya mendengarnya? Ah, tidak juga. Menjadi mahasiswa itu gampang,
sungguh, amat sangat gampang. Nilai tak memadai, kapasitas tak mencukupi,
tinggal gesek uang di mesin, beli amplop kecil, bersalaman, maka semua lancar hahaha. Nah, lalu jika sudah duduk di
bangku kuliah, keluarnya yang susah. Siapkah anda berjuang selama 4 tahun,
berkutat dengan buku, jurnal, tugas, makalah,
presentasi, diskusi, skripsi, dan mengabdi?
I bet not all of those students could fight till the end of this war. Ya,
dalam dua semester yang sudah saya lalui saja, kelas kami yang jumlah
penghuninya paling sedikit, telah kehilangan 4 orang. Bayangkan, bila di
semester tiga ini jumlah pejuang
kemasyarakatan tersisa 18 orang, dan setiap naik satu semester harus
kehilangan 2 orang? Maka pada semester akhir, sisa penghuni kelas Studi Agama-Agama
adalah 6 orang saja. Hal tersebut jelas membuktikan bahwa tak semuanya mampu
berjuang hingga akhir. Meski tak dapat dipungkiri jika beberapa harus berhenti
karena problem pelik tertentu.
Baik,
mari lewatkan mereka yang telah mundur lebih dulu dan pikirkan sisa pejuang
yang masih bertahan. Apakah mahasiswa sekarang ini benar menjadi sosok yang
menyokong kepentingan masyarakat? Apakah mahasiswa sekarang ini benar menjadi
sosok yang melindungi hak-hak masyarakat? Apakah mahasiswa sekarang ini benar
menjadi pejuang keadilan masyarakat atau hanya menjadi manusia sejuta pemikiran
tanpa ada tindakan? Sepertinya saya adalah salah satu mahasiswa setelah atau tersebut hahaha. Tidak! Saya tidak bangga
menjadi mahasiswa seperti itu, justru dari sinilah saya ingin berubah. Kembali memuliakan
gelar mahasiswa.
Tak
butuh jalan besar untuk dititi, tak butuh massa miliar untuk diajari. Dimulai dari
hal kecil, siapa yang bergerak itulah yang berpindah. Saya menyadari bahwa
mahasiswa tak seagresif dulu lagi, mahasiswa tak seinisiatif dulu lagi,
mahasiswa tak sesimpatis dulu lagi. Ya, dulu dan sekarang adalah dua kata beda
makna. Generasi millenial yang diperkirakan menjadi bonus demografi bisa saja
menghasilkan profit nyata atau justru bencana dunia? Sudah cukup bencana alam
saja yang menerpa Indonesia, jangan ditambah petaka-petaka lainnya, lah. Jadi harus bagaimana supaya tak
tertimpa musibah yang mengancam makna mahasiswa?
Celoteh
dari saya, melek! Kalau anda tidak
melek, bagaimana bisa melihat, mendengar, menelaah, dan berfikir? Melek mata, melek telinga, melek nurani,
dan melek otak (beruntung dalam KBBI
ada kata melek, ya). Awalnya saya
adalah mahasiswa yang apatis, sungguh sangat tak ingin ambil pusing dengan
keadaan sekitar. Kalau dalam bahasa gaul daerah saya, namanya bujur arus. Ngikut saja kemana orang
membawa kita, tak mampu menganalisis apakah ucapan dia ini betul, apakah
tindakan yang ia tunjukkan ini benar, apakah perspektif yang mereka utarakan
memiliki dasar yang kuat? Mahasiswa jangan hanya taklid! Saya sudah terlalu sering ceroboh, memakan mentah-mentah
ucapan orang. Ujung-ujungnya muntah karena tak cocok dengan rasanya. Jadi, mari
mulai membuka semua yang ada pada diri -kecuali pakaian- supaya kita tahu
bagaimana keadaan sekitar, merenungi problematika, dan menentukan aksi untuk
bertindak.
Sekian
dari Pojok Celoteh oleh Calon Sarjanawati, terimakasih.
Komentar
Posting Komentar