Islamic Tolerance


Tanggal 16 November, dunia memperingati hari toleransi, dan pada hari ini penulis terinspirasi. Tulisan ini peting untuk dibaca hingga akhir, jika tidak berkenan itu tidak masalah. Yang perlu digaris bawahi, tulisan ini tidak untuk menyimpulkan benar atau salah maupun baik atau buruk, apalagi untuk masalah diterima atau tidak, tentu bukan otoritas penulis. Ini hanya tentang sikap, alasan mengapa penulis menolaknya.
Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memujiNya, memohon pertolongan kepadaNya, memohon ampunan kepadaNya, bertaubat kepadaNya, dan kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan perbuatan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, barangsiapa disesatkan, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, yang tiada sekutu bagiNya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.
Jika kita ditawarkan sesuatu, apakah harus selalu menerimanya? Agar kita dapat dibilang bersikap toleransi. Perlu diketahui, rasionalitas melahirkan toleransi (tasamuh). Toleransi ini mengandung dua hal penting dalam Islam. Pertama, terkait dengan filsafat akhlak, yaitu prinsip kemudahan. Bahwa sesuatu yang diinginkan adalah diperbolehkan, sampai terbukti ketidakbolehannya menurut syariat. Kedua, terkait dengan epistemologi, yaitu prinsip keleluasaan. Dimana ia membolehkan untuk menerima segala yang ia hadapi, sampai terbukti ketidakbolehannya.1
Bagaimana kita dapat menempatkan adab sesuai tempatnya? Penulisan yang tak beradab, tentu belum dapat menjawabnya.2 Lalu, bagaimana kita dapat bersikap toleransi/menghargai terhadap rumah ibadah agama-agama yang ada di lingkungan kita? Penulis teringat kisah khalifah Umar bin Khattab r.a ketika ada di Yarusalem (Baitul Maqdis) selesai dari perjanjian al-‘Uhda al-‘Umariyyah disepakati, waktu shalat tiba. Khalifah lantas bertanya kepada Patriarch Sophronious (pemuka agama Kristen Ortodoks Yarusalem saat itu), di mana Ia bisa menunaikan shalat.
Patriarch Sophronious mempersilahkan khalifah Umar menunaikan shalat di Gereja Qiyamah, tempat suci di Yarusalem bagi umat Kristen Ortodoks. Akan tetapi khalifah Umar menolaknya, dan menunaikan shalat di luar Gereja. Penolakan itu bukan tak beralasan. Namun sang khalifah mempunyai alasan, yaitu khalifah Umar khawatir orang-orang Islam nantinya akan menduduki gereja tersebut dan menjadikannya sebagai masjid.
Ini bukan kisah penulis, akan tetapi kisah sang khalifah Umar bin Khattab r.a yang memiliki sikap sangat toleransi. Jika penulis boleh mengambil pelajaran dari kisah sang khalifah, bahwa kita dapat lihat toleransi bukan berarti harus menerima tawaran yang telah dipersilahkan, akan tetapi juga bisa dengan menolaknya. Tulisan ini hanya bersifat pemikiran yang melintas seketika, jika ada kata-kata, cerita, kisah yang salah. Mohon maaf dan terima kasih.

Edisi Terima atau Tolak?, oleh Hembusan Angin.


1 Dr. Abas Mansur Tamam. 2017. ISLAMIC WORLDVIEW: Paradigma Intelektual Muslim. Jakarta: Spirit Media Press, h. 137
2 Ya Allah jadikan kami termasuk orang-orang yang beradab baik.


Komentar

  1. Jadi ingat peristiwa di VIHARA MAITREYA. salah lebih memilih solat di luar Vihara walaupun sudah disiapkan solat di dalam vihara (tepatnya di belakang Altar). Saya lakukan karena itu karena ketidakyakinan pribadi dan nalar dan dalil yang belum saya miliki.

    BalasHapus
  2. Dan saya lebih memilih sholat di pom bensin walaupun jauh tak mengapalah bukan biar mau keliatan alim tapi biar saya juga bisa makan nasi lamongan.

    BalasHapus
  3. Dan saya lebih memilih sholat di pom bensin walaupun jauh tak mengapalah bukan biar mau keliatan alim tapi biar saya juga bisa makan nasi lamongan.

    BalasHapus

Posting Komentar

What's on?

Tentang Aku dan Sebuah Tragedi

Andai Kata Dunia..

Bukan Mahabarata

Seram