Kelakar Kusam


K
ala itu, Hindun membawa seember pakaian untuk dicuci. Ia berjalan menyusuri pematang sawah sambil bersenandung kecil. Kakinya menapak tanpa alas di atas suket berlapis embun. Dilihatnya para petani sudah bersiap turun, ada Mbok Jum yang sedang mengeratkan jarik[1] lalu mengenakan caping[2]. Wanita paruh baya itu merupakan sosok pahlawan di mata Hindun. Ia menghampiri Mbok Jum sambil mencium kedua tangan yang banyak kapalnya.
E
lok kali paras tersenyum Mbok Jum di pagi ini. Selalu, setelah shalat subuh pasti beliau langsung mandi kemudian mengurus anak-anaknya (padi). Setau Hindun, dari seliweran kabar burung di kampung, ya Mbok Jum memang sudah hidup sendiri sejak 9 tahun lalu. Tapi ada satu rahasia yang belum Hindun tahu, dan biar Mbok Jum saja yang mengatakan padanya. Mereka berpisah untuk melakukan tugasnya masing-masing. Hindun harus cepat pulang dan sekolah.
L
angit jingga terbentang di cakrawala. Hindun baru saja mendarat di tanah setelah menyelesaikan lompatan merdeka. Surti dan Wulan yang memegang karet gelang Hindun pun mengembalikannya. Mereka segera meninggalkan halaman rumah Mbah Sum yang luas. Itu adalah markas anak-anak kampung untuk kumpul. Rumah Hindun paling ujung, dekat kali yang biasa ia sambangi untuk cari yuyu[3]. Ada simbok[4] sedang menyapu latar dari dedaunan petai.
A
ngin malam itu membawa rintik hujan. Setelah shalat maghrib, Hindun berlari cepat sambil memeluk Al-Qur’an dan masih mengenakan mukenah. Pintu kayu berdentum, ucapan salam ia teriakkan dari depan rumah tetangga. Pakde Ijo yang menyalakan sentir[5] di tepi jalan pun tak luput dari sapaan Hindun. Gadis itu masih berlari dan terengah ketika sampai di pendopo Mbok Jum, guru mengaji anak-anak kampung. Malam ini ia sendirian, eh, berdua.
K
etulusan adalah kuncinya. Kalau tiap hari ngewangi ibu di dapur, bersihkan rumah, tapi tetap menggerutu ya sama saja. Kalau menunggu balasan dari perbuatan baik kita ya salah juga. Wes, jangan dipikirkan kebaikan yang kita lakukan dan kejahatan yang orang berikan. Allah itu Maha Baik, ojo ngedumel[6]. Disyukuri saja, semua ada hikmahnya. Jadi, kalau mau pilih suami harus hati-hati, ya. Cari yang santun sama bapak ibu, sing sumanak[7]. Biar bahagia.
A
ir mata Hindun mengalir makin deras, seiring hujan yang melebat. Yang warga ketahui, suami Mbok Jum meninggal karena kecelakaan. Padahal, ia justru mencelakai Mbok Jum sampai kakinya tak berfungsi normal lagi –pincang. Bahkan, sampai janin dalam kandungan Mbok Jum pun turut menjadi korban. Itu adalah calon anak pertama mereka, namun sirna sudah harapan. Masalah klasik orang susah, duet. Suami nganggur, isteri nyangkul.
R
ajinlah nuntut ilmu, di manapun itu ada ilmu, bukan cuma di sekolah. Kalau sudah punya, ya disebarkan. Bantu kawannya yang belum bisa, supaya sama-sama jadi hebat. Tidak ada iri, dengki, dan permusuhan. Bermimpi setinggi mungkin, supaya kalau jatuh masih bisa gocekan[8] sama bintang-bintang. Lah mbok dulu mimpinya cuma pingin suami ganteng, pas udah nikah malah bubaran. Tapi masih untung dia ganteng, kalo jelek ya mbok rugi dua kali, hehe.  

Edisi Kehidupan Kampung Klasik, oleh Calon Sarjanawati.

[1] Kain batik panjang untuk bawahan sebagai pengganti rok. Biasanya dililitkan pada pinggang.
[2] Topi berbentuk kerucut dari anyaman bambu tipis. Petani sering menggunakannya untuk ke sawah.
[3] Kepiting kecil yang biasa ada di kali.
[4] Panggilan untuk ibu atau wanita yang lebih tua dalam masyarakat Jawa.
[5] Lampu berbahan bakar minyak tanah untuk penerangan.
[6] Jangan ngomel.
[7] Yang ramah tamah.
[8] Pegangan.

Komentar

What's on?

Tentang Aku dan Sebuah Tragedi

Islamic Tolerance

Andai Kata Dunia..

Bukan Mahabarata

Seram