Apa Kabar Aku?
Mengenai
karya Ibu Negara berjudul Cahaya.
Seketika
ku tersadar, akan sebuah kalimat yang pernah kutulis 3 tahun lalu. Rupanya waktu
amat cepat berlalu, demi apa, aku sudah bertransformasi cukup jauh dari apa yang
mereka sebut ABG Gaul. Kini seolah,
cahaya gelora masa muda mulai menurun –padahal aku belum setua yang kalian
bayangkan. Bahkan belum menginjak usia dua puluhan.
Tidak.
Aku hanya menempuh jalan lain, beralih dari korban Hallyu menjadi manusia biasa. Masih belum bisa lepas sepenuhnya,
yah, hanya mengulang lagu lama. Pada masa itu, rasanya impian berada di atas
kepala. Titik kulminasi. Aku berdiri
pada siang hari di depan tiang bendera, matahari condong tujuh puluh derajat. Terlihat
bayangan hitam akibat cahaya yang menerpa, bibirku membentuk senyuman merasa
sengatan hangat yang membakar. Begitupula mimpi-mimpiku yang tersulut pemantik,
mereka mengalunkan simfoni penggelitik.
Semakin
lama, matahari semakin menuju ke titik sembilan puluh derajat. Aku masih setia
di sana, seiring berlalunya waktu. Senyuman yang kupatri sejak tadi, perlahan
luntur bersama dengan cucuran keringat. Lengkungan
itu tak lagi turun, tak pula datar, namun meninggi. Binar pancaran mataku
turut meredup. Sepertinya pemantik itu terlalu besar menyulut api pada
mimpi-mimpiku. Karena ku rasa satu per satu mulai berguguran menjadi debu hitam
yang beterbangan. Hendak ku pungut? Ada-ada saja, bahkan terjamah hembusan
angin pun mimpiku hancur.
Aku rapuh, aku
kosong
Langit
mulai menghitam, pemantik panas dunia itu melarikan diri tanpa tanggungjawab. Mengumpat? Akankah mimpi kembali ku
dapat? Mengutuk? Tidak, setelah itu
aku akan terbatuk. Gelegar guntur berlarian di langit gelap. Seolah ikut
mengolok kekalahanku atas ambisi sendiri, kesombongan diri, yang menjadi
penyakit hati. Yang kulakukan hanya bernafas, rintik kecil mulai mengganas. Sejenak
aku heran, kenapa tak ada orang yang berlarian keluar kelas? Ku tengok kanan
dan kiri, ah, bibirku tersenyum kecut dan memberengut. Sepertinya aku memang ditakdirkan untuk menderita sendiri.
Mereka
sudah pergi mendahuluiku. Telah beristirahat di rumah yang nyaman, bercengkrama
dengan keluarga, atau berkumpul di tempat teduh bersama teman lainnya. Sedangkan
aku? Masih menikmati hujan yang menerpa bumi. Positif thinking. Setidaknya langit bersedia menyejukkan panasku,
dan ia bersimpati dengan ikut menangis.
Aku
mulai melangkah, meniti jalur baru tuk dituju. Untuk apa selalu di situ? Bukan aku yang dulu, aku yang terbuai oleh
waktu. Nah, lihat, rupanya aku tak sepenuhnya sendiri. Pandanganku saja
yang terlalu sempit, padahal ada gedung sekolah, pohon, rerumputan, pasir,
tanah dan isinya, tiang bendera, serta sepeda hitam tercinta yang menjadi saksi
perjalanan hidupku –untuk saat itu.
Kalimatku,
could you find me? A darkness in a
thousand darkness.
Edisi
Apa Kabar Aku yang Dulu?, oleh Calon
Sarjanawati.

Komentar
Posting Komentar