Makroni Hot Chili
Hari Senin?
Kalau kata Manusia
Baik1, hari Senin merupakan hari bertempur. Tapi beruntung,
karena Senin ini kami libur dari medan perang. Hm, berbicara Senin, ya?
SEN(Sejatinya)-IN(Indah) -sepertinya terinfeksi virus Watermark2 yang suka membuat kepanjangan sebuah kata-, seharusnya
setiap instansi mengadakan upacara bendera rutinan.
Oh,
Selamat Hari Santri Nasional, ya!
Sejatinya indah,
apabila setiap hari Senin pagi para penghuni
instansi resmi –sekolah, pemerintah, TNI, Polisi, dan sebagainya- mengadakan
upacara bendera. Hanya secarik kain berwarna merah dan putih, katanya, untuk apa dihormati sedemikian
rupa? Haha, kembali pada filosofi warna. Merah dan putih: panas dan dingin? ;
ambisius dan tenang? ; berkobar-kobar dan santai? ; darah dan tulang? ; berani
dan suci? ; atau berani membela kesucian? ; mungkin, berani di atas kesucian? Cukup,
masih banyak spekulasi mengenai asal-usul filosofi warna bendera Indonesia.
Sejatinya indah, karena bendera adalah lambang
negara yang sangat dihormati. Pengibarannya diarak oleh orang banyak, kemudian
diletakkan di tempat tertinggi, diiringin lagu kebangsaan pula. Semua manik tertuju
padanya, ujung jari tangan bertengger di pojokan alis mata. Perjuangan bukan
main mendapatkannya, dan bukan mudah juga saat pengibaran pertama. Yang pasti,
pada saat itu Generasi Millenial –istilahnya-
belum dilahirkan, masih ada di awang-awang.
Langit, jika diartikan ke bahasa Indonesia. Lah, terus kok sekarang kita yang tak ada apa-apanya, minta lebih dihormati dari
Sang Saka?
Memangnya badanmu setinggi apa? Lebih
menjulang dari tiang bendera?
Sejatinya indah, jika di Hari Santri yang bahagia
ini kita saling memperbaiki. Tapi kalau anda sudah merasa benar, ya, upgrade diri saja. SANTRI, Segala Akhlak
dan Tingkah Berpatokkan Nabi, itu versi saya. Sebenarnya tak hanya santri saja
yang harus menjadikan Nabi Muhammad sebagai suri tauladan, itu wajib bagi semua
muslim. Akan tetapi, sangat disayangkan apabila the real santri, yang dasarnya pesantren bahkan lanjut sampai ke
Institut Agama Islam, eh tapi tabiatnya sama seperti manusia yang lain.
Seperti apa?
Sejatinya indah, apabila seorang muslim memiliki etika dan adab yang mulia. Bukan yang
koar-koar, sampai suara serak, keasyikan berdebat, tapi hasilnya percuma.
Bukan menemukan titik temu, tapi titik jemu. Pada akhirnya sakit hati sendiri
jika bicara menuruti emosi, emosi yang buruk tentunya. Jagalah pandangan, lisan, dan pemikiran. Sang
berilmu coba membunuh Sang berilmu lain, sama-sama menanggalkan ilmunya dan
berserah pada emosi. Setan tertawa,
jelas. Sambil goyang kaki, duduk di permadani, dan makan makroni hot chili.
Memang sulit
untuk menjadi orang yang berilmu, beretika, dan beradab mulia. Memang sulit
untuk menjadi manusia yang menjaga pandangan, lisan, dan pemikiran. Memang sulit
untuk menjadi insan pembawa perdamaian dunia. Tapi, memang sulit untuk menjadi
bagian dari mereka yang terus skeptis, statis, dan stagnan.
Edisi Sebenarnya
Santri Seperti Siapa?, oleh Calon Sarjanawati.
1.
Manusia Baik,
salah satu penulis di blog ini.
2.
Watermark,
salah satu penulis di blog ini.
Komentar
Posting Komentar